Dulu saya kira wartawan itu kerjaannya cuma nulis berita. Duduk di kantor, ngetik di balik meja, lalu kirim tulisan. Tapi setelah saya terjun langsung dan ngobrol sama teman lama yang sekarang jadi reporter senior, semua bayangan itu hancur total.

Saya ingat banget, waktu itu saya lagi nongkrong bareng dia di sebuah warkop kecil. Dia baru pulang liputan dari daerah bencana, bajunya masih berdebu, mukanya lelah tapi semangatnya tetap menyala. Dia cerita bagaimana harus naik motor hampir 8 jam ke daerah yang bahkan belum masuk peta digital, cuma buat dapetin cerita langsung dari warga yang terdampak gempa.

Saya tercengang.

Ternyata jadi wartawan itu bukan sekadar menulis. Mereka itu pencari fakta, penutur kisah, dan kadang harus jadi penenang hati orang yang trauma. Dan yang paling penting: mereka berdiri di tengah badai untuk menyuarakan kebenaran. Kadang suara mereka dibungkam, kadang diserang. Tapi mereka tetap maju.

Mengabdi pada Kebenaran: Idealisme atau Kenekatan?

Sekelompok wartawan dan kameramen memadati lokasi liputan dengan kamera profesional, masing-masing berusaha merekam momen penting dalam suasana yang padat dan penuh kesibukan

Mungkin kamu pernah lihat headline berita yang langsung bikin panas kuping. “Wartawan hanya cari sensasi”, “Berita bohong menyebar”, dan sebagainya. Tapi percaya deh, wartawan yang saya kenal justru bertarung habis-habisan buat ngejaga akurasi.

Saya sendiri pernah ikut salah satu teman liputan investigasi. Saya nggak ikut nulis, cuma bantu riset. Tapi saya saksikan gimana dia harus telepon puluhan narasumber, konfirmasi satu data ke banyak sumber, bahkan sempat dikejar-kejar saat mau wawancara salah satu pejabat.

Kata dia, “Kalau kita asal tulis, bisa bahaya. Bisa fitnah, bisa rugikan orang. Dan kalau salah, bisa balik ke kita, bukan cuma reputasi, tapi nyawa juga bisa taruhannya.”

Jadi, ketika wartawan memilih mengungkap hal-hal yang menyengat — seperti korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, atau manipulasi publik — mereka tahu risikonya. Tapi tetap lanjut. Karena ya itu tadi: mereka mengabdi pada kebenaran. Kadang saya mikir, ini idealisme atau kenekatan? Tapi mungkin keduanya emang nggak bisa dipisahin.

Wartawan dan Dunia Digital: Makin Gampang atau Makin Gila?

Banyak orang bilang, era digital bikin kerja wartawan makin mudah. Informasi ada di mana-mana, tinggal klik, tinggal cari di Google, tinggal buka X atau TikTok.

Tapi ya nggak segampang itu, Ferguso.

Saya pernah bantu liputan buat konten feature soal disinformasi pengetahuan. Saya pikir tinggal buka beberapa artikel, susun ulang, selesai. Tapi kenyataannya? Kita harus ngubek-ngubek arsip lama, cek database, dan harus ngerti cara kerja algoritma media sosial. Bahkan, kita harus bisa bedain mana akun bot, mana akun manusia beneran.

Dan tantangannya bukan cuma teknis. Informasi makin deras, tapi kepercayaan publik ke media malah makin turun. Ini yang bikin profesi wartawan makin berat. Mereka nggak cuma harus ngeliput dan nulis, tapi juga harus bisa membuktikan bahwa mereka masih bisa dipercaya.

Bayangin aja, kamu nulis artikel investigasi selama sebulan, tapi satu komentar bilang kamu hoaks, dan artikelmu langsung tenggelam oleh postingan clickbait dalam dua jam. Sakit sih. Tapi ya itu kenyataan yang harus dihadapi sekarang.

Belajar Menulis dengan Hati, Bukan Cuma Kepala

Saya pernah diminta nulis human interest story — cerita manusia dari sisi kemanusiaannya. Saya anggap enteng. Tapi waktu harus wawancara ibu-ibu yang anaknya jadi korban tabrak lari dan belum dapat keadilan, saya nggak bisa ngomong. Saya cuma bisa duduk, dengar, dan pelan-pelan catat.

Rasanya kayak ditampar.

Waktu akhirnya saya rampung nulis artikel itu, saya sadar: tulisan yang bagus bukan cuma dari data yang lengkap. Tapi juga dari empati yang dalam. Wartawan yang baik itu bukan cuma yang tajam pikirannya, tapi juga lembut hatinya.

Kamu bisa saja hafal semua teknik penulisan, tapi kalau nggak bisa merasa dan menghargai narasumber, hasilnya hambar. Ini pelajaran paling penting yang saya dapat dari dunia jurnalistik.

Tekanan Ekonomi dan Ancaman terhadap Jurnalisme Independen

Nah ini bagian yang nggak banyak orang tahu. Banyak media sekarang hidup dari iklan, traffic, dan views. Artinya, wartawan kadang ditekan buat bikin berita yang viral, bukan yang penting.

Saya punya teman yang kerja di media online besar. Dia pernah cerita, setiap hari dia harus nulis 5-7 berita, semuanya harus SEO friendly, dan harus cepat. Nggak peduli kualitasnya, yang penting naik duluan. Lama-lama, katanya, dia ngerasa kayak robot.

Masalahnya, kondisi ini bikin wartawan jadi kehilangan napas buat bikin liputan serius. Kalau nggak ada sponsor, kalau medianya nggak cukup kuat dari sisi finansial, berita-berita penting bisa lenyap. Dan ini bahaya banget buat demokrasi.

Makanya saya salut banget sama media seperti Tempo, yang masih konsisten menyuarakan jurnalisme investigasi, meski tekanan komersial besar banget. Mereka contoh nyata bahwa integritas bisa bertahan kalau punya komitmen dan dukungan dari masyarakat.

Etika Jurnalistik yang Sering Diabaikan (Tapi Nggak Boleh Diabaikan!)

Kadang saya suka gemes lihat orang yang ngaku wartawan, tapi suka nulis hoaks, motong-motong pernyataan narasumber, atau malah ngancem buat dapet bayaran.

Ini bukan wartawan. Ini tukang goreng isu.

Etika jurnalistik itu penting banget. Dan bukan sekadar aturan formalitas, tapi fondasi moral. Mulai dari prinsip verifikasi, cover both sides, hingga melindungi identitas narasumber yang berisiko. Saya belajar bahwa integritas itu harus dijaga, bukan hanya demi nama baik pribadi, tapi demi publik yang menggantungkan informasi dari berita.

Pernah ada cerita tentang seorang jurnalis yang menolak mempublikasikan informasi karena bisa membahayakan warga desa yang dia wawancarai. Dia dimarahi editornya, tapi tetap teguh. Katanya, “Kalau saya tulis ini, bisa habis kampungnya.”

Resiko itu nyata. Tapi etika itu tetap dijunjung. Dan itulah yang membuat saya semakin hormat pada profesi ini.

Wartawan Perempuan: Lapangan yang Tak Selalu Ramah

Satu hal yang saya pelajari juga — jadi wartawan perempuan itu berat. Saya pernah ngobrol sama wartawati senior yang sering liputan di daerah konflik. Dia cerita betapa seringnya dia dilecehkan, dianggap nggak kompeten, atau dipandang sebelah mata.

Bahkan, katanya, waktu liputan ke daerah konflik agama, dia pernah dikejar karena dikira mata-mata. Padahal dia cuma mau wawancara warga.

Tapi dia tetap bertahan. Kenapa? Karena menurut dia, suara perempuan juga harus hadir dalam narasi besar. Perspektif perempuan dalam jurnalistik itu penting, apalagi saat nulis isu-isu yang nyentuh perempuan dan anak.

Makanya saya selalu respek setinggi-tingginya sama wartawan perempuan yang gigih. Mereka nggak cuma ngelawan kerasnya lapangan, tapi juga sistem yang kadang masih patriarkis.

Momen yang Paling Saya Ingat: Menangis di Depan Narasumber

Saya pernah liputan ke panti jompo. Awalnya saya pikir biasa aja, sekadar dokumentasi dan sedikit wawancara. Tapi waktu salah satu kakek cerita gimana dia ditinggal anaknya selama 20 tahun tanpa kabar, saya nggak tahan. Air mata netes begitu aja.

Saya malu, karena saya pikir wartawan harus profesional dan netral.

Tapi kemudian, kepala panti bilang ke saya, “Nggak apa-apa. Kadang narasumber juga butuh tahu bahwa ceritanya menyentuh. Bahwa mereka didengar.”

Sejak saat itu, saya percaya, nggak ada salahnya kalau seorang wartawan juga jadi manusia seutuhnya — yang bisa merasakan, bukan sekadar merekam.

Masa Depan Profesi Wartawan: Masih Ada Harapan?

Sekarang, dengan banyaknya citizen journalism dan maraknya media sosial, banyak yang bilang profesi wartawan akan punah. Tapi saya nggak setuju.

Karena walau semua orang bisa bikin konten, nggak semua orang bisa mempertanggungjawabkan konten itu. Wartawan bukan cuma pencatat, mereka adalah penjaga integritas informasi. Dan peran ini akan selalu dibutuhkan.

Tentu, wartawan harus beradaptasi. Harus bisa bikin konten yang engaging, mengerti algoritma, bahkan kadang harus bisa bikin video dan infografik sendiri. Tapi selama prinsip jurnalistik masih dijaga, saya yakin profesi ini nggak akan mati.

Kita hanya perlu mendukung media independen, menghargai proses jurnalistik, dan berhenti menuntut sensasi dari setiap berita.

Penutup: Menghargai Mereka yang Berdiri di Garis Depan Informasi

Akhirnya, saya cuma ingin bilang satu hal. Kalau kamu pernah membaca berita yang membuatmu sadar, tersentuh, atau bahkan marah — mungkin itu hasil kerja keras seorang wartawan yang bahkan kamu nggak tahu namanya.

Mereka ada di garis depan informasi. Mereka yang bikin kita ngerti apa yang terjadi di luar sana. Dan mereka butuh dukungan kita, bukan hanya dengan tepuk tangan, tapi juga dengan kepercayaan dan ruang untuk terus bekerja dengan integritas.

Jadi, lain kali kamu baca berita yang bagus, sisihkan waktu sebentar untuk menghargai orang di baliknya. Karena tanpa mereka, dunia ini mungkin akan jadi tempat yang jauh lebih gelap.

Beda sedikit cara dalam mengejar berita, cek juga: Reporter: Sosok di Balik Layar yang Membawa Berita Aktual

Penulis

Categories:

Related Posts

Novella Novella: The Middle Ground Between a Novel and a Short Story
For those of you who might not know, a novella is essentially the middle ground
Membuat Api Tanpa Korek Membuat Api Tanpa Korek: Trik Survival di Tengah Hutan
Membuat api tanpa korek adalah keterampilan penting dalam dunia survival, terutama saat berada di tengah
Deret Geometri Deret Geometri: Hitung Deretan Perkalian Secara Cepat
Saya masih ingat betul waktu pertama kali belajar deret geometri di bangku sekolah. Awalnya saya
Novels News Novels News: The Latest Releases, Trends, and Exciting Updates in the World of Literature
The world of literature is constantly evolving, with new novels, trends, and updates emerging every