
Saya pertama kali denger istilah “digitalisasi sekolah” bukan dari seminar atau Inca berita, tapi dari anak tetangga. Serius. Waktu itu dia lagi pegang tablet, main sambil bilang, “Ini PR-ku, tapi lewat Google Classroom.”
Saya cuma bisa mikir: Wow, bahkan anak SD sekarang udah online kelasnya. Waktu saya kecil? PR masih ditulis tangan, dan kalau ketinggalan buku ya udah, selesai.
Tapi itu juga bikin saya penasaran. Apakah semua sekolah di Indonesia udah digital? Atau cuma di kota besar doang?
Bagaimana Saya Pertama Kali Tahu Soal Digitalisasi Sekolah
Ketika Sekolah Anak Saya Mulai Pakai Sistem Digital
Satu tahun lalu, sekolah anak saya mulai uji coba pakai sistem Learning Management System (LMS). Awalnya saya semangat banget.
“Yes! Akhirnya nggak ribet lagi nyari kertas ulangan atau nyatet PR!”
Tapi kenyataannya? Hahaha… jauh dari ideal.
-
Banyak guru yang gaptek. Sumpah ini bukan nyinyir ya, tapi beneran ada guru yang bingung cara upload soal ke platform.
-
Sistem sering down. Pas mau submit tugas, malah error. Anak saya sampai nangis dua kali karena nilainya kosong padahal dia udah ngerjain.
-
Orang tua jadi ikut stres. Banyak yang nggak ngerti sistemnya, apalagi kalau nggak punya gawai sendiri.
Masalah Utama: Infrastruktur Nggak Merata
Di kota besar, mungkin digitalisasi sekolah udah jalan. Tapi begitu ngobrol sama saudara saya yang jadi guru di pelosok Kalimantan, ceritanya beda.
Dia bilang:
“Kami dapet tablet dari dinas, tapi listrik aja masih byar-pet. Wifi? Nggak ada. Paket data habis terus.”
Saya langsung sadar, digitalisasi itu nggak bisa disamaratakan. Kalau nggak ada akses, ya nggak bisa jalan.
Teknologi yang Pernah Dicoba, dan Apa yang Bener-Bener Bekerja
Selama setahun ini, saya dan komunitas sekolah nyobain berbagai tools dan aplikasi digital. Beberapa sukses, beberapa total gagal.
✅ Yang Bekerja:
-
Google Workspace for Education: Ringan, gratis, dan bisa kolaborasi. Cocok buat guru dan siswa.
-
Quizizz dan Kahoot: Anak-anak suka karena fun. Bahkan yang biasanya males jadi aktif.
-
Zoom + OBS: Buat pelajaran live, kalau gurunya melek teknologi.
❌ Yang Nggak Berhasil:
-
Aplikasi buatan lokal yang setengah jadi: Banyak yang UI/UX-nya bikin bingung, server gampang crash.
-
Sistem digital tanpa pelatihan: Ini nih, masalah besar. Guru dikasih sistem, tapi nggak dikasih waktu buat belajar.
Kenapa Digitalisasi Sekolah Sering Gagal?
Ini hasil observasi dan diskusi dengan banyak guru:
-
Top-down, bukan bottom-up. Keputusan datang dari atas, tapi pelaksana di lapangan nggak diajak ngobrol.
-
Fokus pada alat, bukan tujuan. Beli laptop? Yes. Beli proyektor? Yes. Tapi kurikulum dan metode? Nggak diperbarui.
-
Kurangnya pelatihan guru. Banyak guru masih trauma teknologi. Bukan karena nggak bisa belajar, tapi karena nggak diberi waktu dan dukungan.
Pelajaran yang Saya Petik dari Semua Ini
Saya belajar bahwa teknologi bukan solusi otomatis. Tapi juga bukan musuh.
Digitalisasi bisa bantu banget kalau:
-
Dilakukan pelan-pelan.
-
Ada pelatihan menyeluruh untuk guru.
-
Siswa dan orang tua dilibatkan aktif.
Dan yang paling penting: teknologi itu alat, bukan tujuan.
Apa yang Bisa Kita Lakukan Sebagai Orang Tua atau Guru?
Kalau kamu guru:
-
Mulai dari satu aplikasi yang kamu kuasai. Nggak usah semua langsung.
-
Libatkan siswa aktif. Ajak mereka bikin kuis, presentasi, dll.
-
Minta sekolah adakan pelatihan intensif, bukan cuma 1x workshop.
Kalau kamu orang tua:
-
Dampingi anak belajar teknologi.
-
Jangan langsung marah kalau sistem error. Coba bantu cari solusinya.
-
Dorong sekolah buat transparan soal program digital mereka.
Harapan Saya ke Depan Soal Digitalisasi Sekolah
Saya nggak berharap semua sekolah langsung pakai AI dan robot. Tapi saya pengin:
-
Setiap guru bisa pegang laptop dan paham dasar digital.
-
Siswa bisa akses materi belajar dari rumah, tanpa biaya tinggi.
-
Pemerintah bikin kebijakan yang fleksibel dan aplikatif, bukan sekadar proyek.
Penutup: Digitalisasi Sekolah Bukan Trend, Tapi Kebutuhan
Kalau kamu pikir ini cuma trend sementara, kamu salah.
Digitalisasi sekolah adalah masa depan.
Tapi kita harus pastikan masa depan itu inklusif, merata, dan ramah untuk semua—guru, siswa, dan orang tua.
Baca Juga Artikel dari: Outsourcing Akan Dihapus Prabowo: Apa Dampaknya Buat Kita?
Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait Tentang: Pengumuman
#Digitalisasi #digitalisasi sekolah #sekolah #Sekolah Digitalisasi #Sekolah Digitalisasi Sekolah