
Jakarta, inca.ac.id – Di ruang kelas perguruan tinggi mana pun, selalu ada mahasiswa yang berkata, “Tenang, masih ada waktu.” Kalimat sederhana itu terdengar akrab—dan berbahaya.
Fenomena prokrastinasi mahasiswa bukan lagi hal langka; ia sudah menjadi bagian dari ekosistem akademik itu sendiri. Dari tugas makalah hingga skripsi, dari membaca jurnal hingga menyiapkan presentasi—banyak yang akhirnya menunda sampai detik-detik terakhir.
Bayangkan seorang mahasiswa bernama Rafi. Ia tahu tenggat tugas penelitian tinggal dua hari lagi, tapi pikirnya, “Nanti malam saja deh ngerjainnya.” Malam itu, ia menonton serial baru di Netflix, lalu keesokan harinya sibuk dengan kegiatan organisasi. Tiba-tiba hari sudah berganti, dan rasa panik pun menyerang. Rafi bukan malas—ia hanya terjebak dalam pola pikir “nanti saja.”
Psikolog pendidikan menyebut kondisi ini sebagai academic procrastination—penundaan disengaja dalam menyelesaikan pekerjaan akademik, meski tahu konsekuensinya negatif. Prokrastinasi seringkali bukan soal waktu, tapi soal kendali diri dan tekanan emosional. Mahasiswa tahu harusnya bekerja, tapi tak bisa memaksa diri untuk mulai.
Akar Psikologis Prokrastinasi: Antara Perfeksionisme dan Rasa Takut Gagal
Salah satu kesalahpahaman terbesar tentang prokrastinasi adalah menganggapnya sebagai kemalasan. Padahal, banyak penelitian menunjukkan bahwa penunda sejati seringkali justru orang yang ingin melakukan sesuatu dengan sempurna.
Perfeksionisme membuat mahasiswa menunda karena takut hasilnya tidak sebaik yang dibayangkan. Mereka berpikir, “Aku belum siap,” atau “Belum cukup bagus.” Akibatnya, tugas tidak dimulai sama sekali.
Di sisi lain, ada faktor emosional yang tak kalah besar: rasa takut gagal, cemas, hingga kelelahan mental (burnout). Mahasiswa yang mengalami tekanan akademik berat seringkali kehilangan energi untuk memulai, sehingga memilih menunda sebagai bentuk “perlindungan diri.”
Menurut data dari beberapa survei akademik di Indonesia, lebih dari 70% mahasiswa pernah mengakui menunda tugas kuliah hingga mendekati tenggat waktu. Sebagian besar mengaku penyebabnya adalah emosi negatif dan kurangnya motivasi internal—bukan sekadar manajemen waktu yang buruk.
Namun ada juga sisi sosialnya. Lingkungan kampus yang kompetitif, dosen yang perfeksionis, atau teman sebaya yang santai bisa memperkuat kebiasaan menunda. Ketika satu orang berkata, “Tugasnya gampang, nanti aja,” yang lain pun merasa aman untuk meniru. Maka jadilah prokrastinasi sebagai budaya tak tertulis di dunia mahasiswa.
Dampak Nyata Prokrastinasi bagi Mahasiswa
Bagi sebagian orang, menunda pekerjaan terlihat sepele. Namun efek jangka panjangnya bisa sangat serius—terutama di dunia akademik yang bergantung pada konsistensi.
a. Kinerja Akademik Menurun
Mahasiswa yang terbiasa menunda sering kali menghasilkan tugas yang tergesa-gesa dan tidak mendalam. Ketika waktu mepet, riset menjadi asal-asalan, dan ide tidak sempat dikembangkan dengan matang. Hasil akhirnya: nilai yang tidak maksimal, bahkan bisa mengancam kelulusan.
b. Kesehatan Mental Terganggu
Rasa bersalah, cemas, hingga stres berlebih sering muncul pada penunda kronis. Ironisnya, semakin tinggi rasa stres, semakin sulit pula untuk memulai pekerjaan berikutnya. Siklus ini menciptakan lingkaran setan antara kecemasan dan penundaan.
c. Hilangnya Kepercayaan Diri
Ketika mahasiswa sadar bahwa ia berulang kali menunda, kepercayaan dirinya menurun. Ia mulai merasa tidak kompeten, membandingkan diri dengan teman yang lebih produktif, hingga akhirnya menyerah.
Dalam jangka panjang, prokrastinasi bisa mematikan potensi diri yang sebenarnya besar.
d. Dampak Sosial dan Profesional
Kebiasaan menunda tidak berhenti di bangku kuliah. Ia terbawa ke dunia kerja, di mana tenggat lebih ketat dan konsekuensinya nyata. Mahasiswa yang tidak mengatasi prokrastinasi sejak dini berisiko kesulitan dalam manajemen waktu saat berkarier nanti.
Melawan Prokrastinasi: Dari Mindset hingga Strategi Praktis
Mengatasi prokrastinasi tidak semudah memaksa diri untuk bekerja. Ia membutuhkan pemahaman mendalam tentang diri sendiri dan kebiasaan yang terbentuk.
1. Ubah Pola Pikir: Dari “Harus Sempurna” ke “Harus Dimulai”
Salah satu jebakan prokrastinasi adalah menunggu momen sempurna. Padahal, produktivitas sering muncul dari langkah pertama yang tidak sempurna. Mahasiswa perlu belajar berkata, “Lebih baik mulai dulu,” daripada menunggu inspirasi datang.
2. Gunakan Teknik Pomodoro
Metode ini membagi waktu belajar menjadi blok 25 menit fokus, diselingi istirahat 5 menit. Dengan cara ini, otak tidak merasa terbebani, dan progres tetap terjaga.
3. Buat To-Do List Realistis
Jangan tulis “selesaikan bab 1-5 skripsi,” tapi tulis “buat kerangka bab 1” atau “rangkai paragraf pembuka.” Tugas kecil membuat otak lebih mudah memulai.
4. Hindari Lingkungan Pemicu Distraksi
Mahasiswa perlu mengenali sumber gangguannya—apakah notifikasi ponsel, teman kos yang berisik, atau bahkan tempat tidur yang terlalu nyaman. Fokus tidak akan datang tanpa lingkungan yang mendukung.
5. Terapkan Self-Reward
Berikan hadiah kecil setelah menyelesaikan bagian tugas tertentu, misalnya menonton satu episode film setelah menulis 500 kata. Sistem penghargaan ini membantu otak mengaitkan kerja keras dengan kesenangan.
Dalam sebuah riset di kampus ternama, ditemukan bahwa mahasiswa yang menuliskan jadwal kerja mingguan dan mengevaluasi progresnya setiap akhir minggu mengalami penurunan perilaku prokrastinasi hingga 40%. Artinya, disiplin kecil bisa mengubah kebiasaan besar.
Menemukan Makna Belajar: Mengapa Kita Harus Bertanggung Jawab pada Waktu
Prokrastinasi bukan hanya soal waktu, tapi soal makna belajar. Mahasiswa yang menunda sering kehilangan tujuan awalnya kuliah: mencari ilmu, bukan sekadar mengejar nilai.
Bayangkan jika setiap tugas dilihat bukan sebagai beban, tapi sebagai kesempatan mengasah pikiran. Setiap makalah adalah latihan menulis yang lebih baik, setiap riset adalah jalan menuju pemahaman yang lebih dalam.
Ketika motivasi datang dari rasa ingin tahu, bukan sekadar kewajiban, prokrastinasi mulai kehilangan kekuatannya.
Sebagai contoh, seorang mahasiswa psikologi bernama Dinda mulai mengubah pendekatannya terhadap skripsi. Ia berhenti melihatnya sebagai “tugas berat yang harus selesai,” melainkan sebagai penjelajahan terhadap isu yang ia pedulikan, yakni kesehatan mental remaja. Dalam tiga bulan, ia menulis dengan lancar tanpa tekanan berarti. Prokrastinasi-nya pun berkurang, karena fokusnya berubah dari hasil ke proses.
Kesimpulan: Disiplin Adalah Wujud Cinta Diri
Pada akhirnya, melawan prokrastinasi bukan soal menjadi sempurna, tapi soal menghargai waktu dan potensi diri sendiri. Mahasiswa yang belajar untuk konsisten sedang belajar mencintai dirinya dalam bentuk paling nyata: dengan tidak menunda hal yang penting.
Ketika seseorang berhenti berkata, “Nanti saja,” dan mulai berkata, “Sekarang,” hidup akademiknya berubah drastis. Tidak ada keberhasilan besar yang lahir dari penundaan. Semua dimulai dari satu keputusan kecil—untuk memulai hari ini juga.
Baca Juga Konten Dengan Artikel Terkait Tentang: Pengetahuan
Baca Juga Artikel Dari: Deadline Tugas Kampus: Produktivitas, dan Strategi Mahasiswa
#mahasiswa produktif #manajemen waktu #motivasi belajar #penundaan akademik #perfeksionisme #prokrastinasi mahasiswa #stres akademik