Jakarta, inca.ac.id – Pernah nggak sih kamu duduk di kelas, lalu mikir: kenapa kurikulumnya begini? Kenapa sejarah yang diajarkan terasa sepihak? Atau, kenapa guru di sekolahmu nggak pernah ngomong soal isu sosial-politik yang lagi panas di luar sana?

Kalau iya, berarti kamu sudah bersinggungan langsung dengan politik pendidikan, sadar ataupun tidak.

Secara definisi, politik pendidikan adalah proses bagaimana kekuasaan, kebijakan, dan kepentingan politik membentuk sistem pendidikan. Siapa yang menentukan kurikulum? Siapa yang menetapkan gaji guru? Kenapa ada sekolah favorit dan sekolah “biasa aja”? Semua itu nggak terjadi secara alami. Ada keputusan politik di baliknya.

Anekdot cepat: seorang guru honorer bernama Bu Ranti di daerah Magelang pernah berkata dalam wawancara dokumenter, “Saya ngajar 4 mata pelajaran, honornya Rp300 ribu sebulan. Tapi aturan naik gaji guru belum disahkan karena DPR-nya sibuk bahas RUU yang lain.”

Begitu nyata. Dan menyakitkan.

Politik pendidikan bukan soal teori. Ini nyata—dan berdampak langsung ke ruang kelas, dompet guru, dan bahkan cara kita melihat dunia. Karena pendidikan bukan sekadar soal belajar. Pendidikan itu alat ideologis yang menentukan bagaimana generasi dibentuk. Dan siapa yang mengontrol pendidikan, bisa mengontrol masa depan.

Dari Orde Baru ke Merdeka Belajar: Sejarah Panjang Tarik-Menarik Ideologi

Politik Pendidikan

Kalau kita mundur ke masa Orde Baru, sistem pendidikan di Indonesia punya misi utama: stabilitas dan nasionalisme versi penguasa. Buku pelajaran sejarah disusun ketat. Tidak ada ruang untuk kritik atau interpretasi alternatif. Bahkan, kurikulum diwarnai oleh narasi tunggal: negara tidak boleh diganggu.

Bisa dibilang, pendidikan kala itu adalah alat legitimasi kekuasaan.

Baru setelah reformasi 1998, ruang demokrasi pendidikan mulai terbuka. Tapi—seperti luka yang menganga terlalu lama—prosesnya tidak mulus. Kurikulum sering berubah, tergantung siapa menterinya, partai pengusungnya, atau presiden yang sedang menjabat.

Ingat KTSP 2006? Lalu Kurikulum 2013? Dan sekarang Merdeka Belajar?

Masing-masing membawa jargon: “berpusat pada siswa”, “pendidikan karakter”, “pembelajaran kontekstual”. Tapi kadang, jargon tinggal jargon. Di lapangan, guru pusing dengan administrasi. Siswa bingung dengan format penilaian. Orang tua tambah stres karena biaya les.

Dan lucunya, perubahan kurikulum bisa dipercepat (atau diperlambat) tergantung dinamika politik nasional. Ada menteri yang diganti karena reshuffle politik, padahal programnya baru jalan setengah tahun. Jadi ya… silabus belum beres, menterinya udah cabut.

Contoh konkret? Ketika Nadiem Makarim ditunjuk sebagai Mendikbudristek, banyak yang berharap bahwa pendekatannya akan seperti startup: cepat, gesit, terukur. Tapi di sisi lain, kebijakan seperti penghapusan UN dan peluncuran AKM juga memantik debat panjang—apakah ini solusi, atau hanya perubahan kosmetik?

Pendidikan Gratis Tapi Mahal? Keadilan dan Politik Anggaran

Satu hal yang harus kita sadari: politik pendidikan erat kaitannya dengan uang.

Setiap tahun, APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) mengalokasikan 20% untuk sektor pendidikan. Terdengar besar, kan? Tapi tunggu dulu. Uang itu tidak turun begitu saja ke ruang kelas.

Ada biaya birokrasi, proyek infrastruktur, pelatihan, program digitalisasi, pengadaan buku, hingga pengembangan kurikulum. Di tengah jalan, sebagian anggaran bisa “hilang arah” karena kebocoran, proyek fiktif, atau sekadar ketidakefisienan.

Dan meski pendidikan diklaim “gratis”, nyatanya banyak siswa masih harus bayar buku, seragam, uang komite, les tambahan, dan bahkan “uang bangku”.

Kita ambil contoh BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Program ini niatnya bagus: bantu operasional sekolah negeri. Tapi banyak kepala sekolah mengeluhkan lambatnya pencairan atau rumitnya pelaporan. Bahkan ada sekolah yang akhirnya “meminjam” dana dari wali murid dulu sambil menunggu transfer pemerintah.

Inilah contoh nyata bahwa politik anggaran bisa memperlambat pendidikan yang adil.

Satu lagi: pendidikan tinggi.

Kenapa kampus negeri favorit bisa jadi sangat mahal? Karena sistem PTN-BH (Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum) memberi otonomi pembiayaan. Akibatnya, UKT bisa mencapai belasan juta. Jadi, “masuk UI gratis” itu cuma berlaku kalau kamu lolos kuota KIP-Kuliah. Kalau nggak? Siap-siap nabung dari SMA.

Kontestasi Kepentingan: Siapa yang Mengontrol Arah Pendidikan?

Di balik semua itu, ada pertanyaan besar: siapa yang benar-benar mengontrol pendidikan kita?

Secara formal, jawabannya: negara. Tapi realitanya lebih kompleks. Ada banyak aktor yang terlibat dalam politik pendidikan:

  • Pemerintah pusat & daerah

  • Partai politik (melalui DPR/DPRD yang menyusun undang-undang dan anggaran)

  • Lembaga donor dan NGO (yang sering bantu program pendidikan)

  • Korporasi dan startup edutech

  • Ormas keagamaan (seperti NU, Muhammadiyah)

  • Guru dan serikat pekerja

  • Orang tua murid

  • Media dan influencer pendidikan

Bayangkan pendidikan sebagai panggung besar. Dan semua aktor ini berebut mikrofon.

Ada yang ingin sekolah lebih religius, ada yang ingin lebih sains & teknologi, ada yang ingin pendidikan berbasis industri. Semua punya logika sendiri, dan semua mencoba “menanamkan nilai”.

Inilah kenapa debat soal RUU Sistem Pendidikan Nasional, RUU Sisdiknas, atau revisi UU Guru dan Dosen bisa sangat panas. Karena di dalamnya ada pertarungan ideologi, kepentingan ekonomi, dan bahkan basis suara pemilu.

Anekdot: dalam rapat revisi kurikulum di sebuah provinsi, ada usulan untuk menghapus pelajaran seni dan menggantinya dengan coding. Alasannya? “Biar anak-anak siap kerja.” Tapi seorang guru dengan tenang menjawab, “Lalu kapan mereka belajar mengapresiasi hidup?”

Kita butuh teknologi. Tapi kita juga butuh manusia yang peka. Dan politik pendidikan seharusnya menjaga keduanya.

Menuju Politik Pendidikan yang Progresif: Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Pertanyaan paling penting: lalu kita bisa apa? Apakah nasib pendidikan cuma ditentukan elite dan menteri?

Jawabannya: tidak.

Sebagai warga, mahasiswa, guru, orang tua, atau siapa pun yang peduli masa depan, kita bisa terlibat dalam politik pendidikan yang sehat. Caranya?

  • Melek kebijakan. Baca dan pahami apa yang sedang dibahas di DPR soal pendidikan.

  • Suara pemilih. Tanyakan visi pendidikan ke calon legislatif/presiden.

  • Advokasi publik. Dukung gerakan guru, mahasiswa, atau komunitas yang mendorong keadilan pendidikan.

  • Lawan disinformasi. Banyak hoaks dan opini Inca Berita menyesatkan seputar pendidikan. Edukasi orang sekitarmu.

  • Dukung inisiatif lokal. Banyak komunitas yang bikin kelas gratis, perpustakaan kampung, bimbel anak marjinal. Ini politik pendidikan dalam bentuk paling nyata.

Karena pada akhirnya, politik pendidikan bukan hanya soal pemerintah, tapi soal kolektif kesadaran: bahwa belajar itu hak semua orang, dan mendidik adalah tanggung jawab bersama.

Penutup: Belajar Itu Netral, Tapi Sistemnya Tidak

Politik pendidikan adalah cermin dari wajah bangsa. Lewat sistem pendidikan, kita bisa tahu siapa yang diprioritaskan dan siapa yang dikorbankan. Lewat kurikulum, kita bisa menebak arah ideologi. Dan lewat nasib guru, kita bisa menilai keadilan yang sebenarnya.

Jadi lain kali kamu duduk di ruang kelas, atau melihat adikmu ikut daring dengan sinyal pas-pasan, atau melihat guru honorer menunggu insentif yang tak kunjung datang—ingatlah: di balik semua itu ada keputusan politik.

Dan selama kita membiarkan pendidikan dikuasai hanya oleh segelintir elit, maka generasi masa depan hanya akan mewarisi ruang kelas tanpa masa depan.

Kini, saatnya kita ikut bersuara.

Baca Juga Artikel dari: Broadband Access: Unlocking Knowledge for Remote and Rural Areas—My Real Take and Why It Matters

Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait Tentang: Pengetahuan

Penulis

Categories:

Related Posts

Konsumsi Masyarakat Konsumsi Masyarakat: Pola Belanja Bikin Gagal Nabung?
JAKARTA, inca.ac.id – Pernah nggak sih, ngerasa tiap awal bulan dompet masih penuh, eh tiba-tiba
Topologi Jaringan Topologi Jaringan: Cara Kerja Internet Dimulai dari Sini
Jakarta, inca.ac.id – Bayangkan kamu lagi nongkrong bareng lima teman, terus mau tukeran file atau
Broadband Access Broadband Access: Unlocking Knowledge for Remote and Rural Areas—My Real Take and Why It Matters
JAKARTA, inca.ac.id – Alright, let’s get real—Broadband Access: Unlocking Knowledge for Remote and Rural Areas