
Perkembangan Gizi, aku masih ingat betul, setiap pagi di hari Minggu, nenek akan membangunkanku lebih pagi hanya untuk membelikan bubur ayam langganan. Rasanya sederhana, hanya bubur polos, suwiran ayam kampung, daun bawang, dan kerupuk. Tapi itu adalah awal mula perkenalanku dengan gizi—meski aku belum tahu saat itu.
Di balik semangkuk bubur, ada sejarah panjang bagaimana masyarakat kita mengenal dan mengembangkan konsep “makanan bergizi”. Zaman dulu, orang tua hanya tahu bahwa sayur itu sehat dan ikan bagus buat otak. Namun, perkembangan gizi sebagai cabang ilmu pengetahuan adalah cerita yang jauh lebih dalam.
Gizi bukan sekadar soal makan nasi, lauk, dan sayur. Gizi adalah ilmu tentang bagaimana tubuh menggunakan makanan untuk tumbuh, bertahan hidup, dan berkembang. Dan menariknya, konsep ini terus berubah seiring waktu, mengikuti penemuan-penemuan baru dari para ahli di seluruh dunia.
Di bagian ini, kita akan menyelami bagaimana awal mula manusia mengenal kebutuhan nutrisi. Dari tradisi nenek moyang yang hanya mengandalkan insting dan pengamatan, hingga munculnya sains yang membongkar kandungan di balik makanan.
Contohnya, dalam budaya Jawa kuno, makanan untuk ibu hamil adalah jamu dan rujak. Secara ilmiah, banyak dari bahan rujak—seperti mangga muda dan nanas—kaya vitamin C dan serat. Sementara jamu kunyit asam punya manfaat antiinflamasi. Lucu ya, kadang tradisi lebih dulu tahu daripada laboratorium!
Namun, perkembangan gizi tidak bisa terus-terusan bergantung pada kebiasaan saja. Masalah gizi buruk, stunting, hingga obesitas perlahan membuka mata kita bahwa gizi perlu ilmu, bukan cuma intuisi.
Gizi, Masa Kecil, dan Ingatan tentang Bubur Ayam
Era Ilmu Gizi Modern: Saat Makanan Masuk Laboratorium
Perkembangan gizi sebagai disiplin akademik dimulai serius di awal abad ke-20. Di tahun 1912, ilmuwan Polandia bernama Casimir Funk mengenalkan istilah “vitamin”—dari “vital amine”. Ia meyakini ada senyawa esensial dalam makanan yang dibutuhkan tubuh untuk mencegah penyakit seperti beri-beri dan scurvy.
Penemuan itu adalah tonggak penting. Gizi mulai dipandang sebagai ilmu eksakta, bukan lagi kebiasaan rumah tangga. Dan sejak itu, satu per satu vitamin dan mineral diidentifikasi. Vitamin A, B kompleks, C, D, E, K… semua mulai dipahami perannya.
Yang menarik, gizi juga mulai dikaitkan dengan penyakit kronis. Kolesterol, tekanan darah, kadar gula—semua berkaitan erat dengan pola makan. Bahkan, banyak rumah sakit kini punya ahli gizi yang khusus mengatur diet pasien, dari bayi prematur sampai pasien kanker stadium lanjut.
Dalam konteks global, organisasi seperti WHO dan FAO mulai menyusun pedoman gizi, menyusun standar kebutuhan kalori, protein, mikronutrien, dan lainnya. Indonesia sendiri mengadopsi konsep “Pedoman Gizi Seimbang” menggantikan 4 sehat 5 sempurna.
Dulu, segelas susu dianggap penyempurna makan. Sekarang? Tidak selalu. Susu memang bergizi, tapi bukan satu-satunya. Gizi modern tidak memuliakan satu makanan, tapi mendorong keberagaman dan keseimbangan.
Dan jangan salah, di era ini, perkembangan gizi juga mulai bersentuhan dengan teknologi. Ada nutrigenomik—ilmu yang mempelajari bagaimana makanan memengaruhi ekspresi gen. Ada pula food fortification, seperti menambahkan zat besi dalam tepung atau vitamin A dalam minyak goreng.
Dari Masalah Gizi Buruk ke Obesitas: Tantangan Baru di Era Modern
Kalau dulu kita pusing karena anak-anak kurang makan, sekarang banyak orang tua malah pusing anaknya terlalu banyak ngemil. Ironis, bukan?
Indonesia masih menghadapi masalah gizi ganda. Di satu sisi, masih ada daerah-daerah yang mengalami stunting, anemia, dan kekurangan mikronutrien. Di sisi lain, kota-kota besar dihantui masalah obesitas dan penyakit metabolik.
Contohnya, menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, prevalensi stunting pada balita mencapai 30,8%. Namun, data yang sama menunjukkan peningkatan kasus obesitas pada remaja dan dewasa. Ini bukti bahwa tantangan gizi makin kompleks.
Dan jujur, aku juga pernah mengalaminya. Saat pindah ke Jakarta untuk kerja, pola makan berubah total. Sarapan roti tawar, siang pesan ayam geprek, malam mie instan. Praktis, tapi tubuh mulai “protes”. Berat badan naik, perut kembung, gampang lelah.
Sampai akhirnya aku mulai belajar dasar-dasar gizi dari aplikasi dan Instagram ahli gizi. Pelan-pelan mengatur pola makan, memperbanyak sayur, dan mengurangi gula. Ternyata, ilmu gizi bisa sangat membumi dan membebaskan—asal kita mau belajar.
Perkembangan gizi modern juga menekankan pentingnya “personalized nutrition”. Setiap orang punya kebutuhan yang berbeda. Anak-anak butuh zat besi untuk pertumbuhan, lansia butuh kalsium dan vitamin D untuk tulang, pekerja kantoran butuh asupan antioksidan untuk melawan stres oksidatif.
Teknologi dan Revolusi Digital: Gizi di Ujung Jari
Siapa sangka, gizi kini bisa dipantau lewat smartwatch? Serius. Teknologi telah merevolusi cara kita memahami dan mengelola asupan nutrisi.
Aplikasi seperti MyFitnessPal, Yazio, atau Lifesum bisa menghitung kalori, memantau protein, lemak, karbohidrat, bahkan air yang kita konsumsi. Tak perlu jadi ahli gizi dulu untuk tahu kalau hari ini asupan natrium kita kelewat batas.
Lebih canggih lagi, beberapa startup kini mengembangkan layanan nutrigenetik: analisis DNA untuk menentukan pola makan ideal kita. Misal, gen kita sensitif terhadap kafein? Maka kita disarankan minum kopi hanya sekali sehari. Atau gen kita lambat memetabolisme lemak jenuh? Wajib batasi gorengan dan daging merah.
Selain itu, teknologi pangan juga berkembang. Muncul produk-produk makanan plant-based, daging sintetis, dan makanan dengan label “clean nutrition”. Bahkan tren food tracking lewat foto kini populer di kalangan Gen Z. Cukup foto makanan, sistem AI akan analisis nilai gizinya.
Namun, tantangan juga muncul. Banyak informasi gizi di media sosial yang menyesatkan. Contohnya, diet ketat tanpa karbohidrat dianggap sehat padahal bisa berbahaya kalau dilakukan tanpa pengawasan. Inilah pentingnya edukasi dan literasi gizi digital.
Sebagai pembawa berita dan content creator, aku merasa penting untuk menyampaikan bahwa ilmu gizi bukan tren sesaat. Ini ilmu hidup. Karena semua orang makan, maka semua orang perlu tahu apa yang masuk ke tubuh mereka.
Masa Depan Gizi: Menuju Generasi Emas yang Lebih Sadar Nutrisi
Gizi bukan lagi sekadar urusan dapur ibu atau warung depan rumah. Gizi kini menyentuh ranah kebijakan, pendidikan, teknologi, dan bahkan budaya pop.
Pemerintah Indonesia saat ini tengah gencar menyuarakan “Generasi Emas 2045”—dan gizi adalah salah satu fondasinya. Tak mungkin anak-anak tumbuh cerdas dan produktif jika tubuh mereka kekurangan zat gizi sejak balita.
Pendidikan gizi di sekolah, program makanan tambahan di posyandu, kampanye #IsiPiringku, semua ini adalah bagian dari upaya panjang membangun literasi gizi nasional.
Dan kita juga punya peran, sekecil apapun. Mulai dari membiasakan sarapan sehat, membaca label gizi, hingga tidak mudah percaya pada diet instan. Aku sendiri kini lebih hati-hati memilih makanan. Bukan soal diet, tapi soal investasi jangka panjang untuk tubuh.
Aku percaya, masa depan gizi adalah masa depan yang inklusif. Di mana sains, tradisi, dan teknologi berjalan berdampingan. Di mana makanan bukan hanya soal rasa, tapi soal makna—tentang keberlanjutan, kesehatan, dan kehidupan.
Seperti yang pernah dikatakan Hippocrates ribuan tahun lalu, “Let food be thy medicine.” Dan kini, dengan perkembangan gizi yang terus maju, kutipan itu terasa lebih relevan dari sebelumnya.
Penutup: Gizi adalah Cerita yang Terus Tumbuh
Gizi bukan hanya angka di belakang kemasan makanan. Ia adalah perjalanan manusia, dari gua purba hingga ruang operasi. Dari jamu nenek hingga smartwatch di pergelangan tangan.
Setiap gigitan adalah keputusan. Dan setiap keputusan bisa membentuk masa depan—bukan hanya bagi tubuh kita, tapi bagi keluarga, komunitas, dan generasi berikutnya.
Jadi, lain kali saat kamu membuka kulkas dan memilih apa yang akan kamu makan, ingatlah bahwa kamu sedang menulis bab baru dalam perjalanan perkembangan gizi umat manusia.
Selamat menikmati hidup sehat—dari perut hingga pikiran.
Baca Juga Artikel dari: Organisasi Konstruksi: Sebuah Jantung Proyek Bangunan Modern
Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait Tentang: Pengetahuan