
Aku masih ingat jelas saat pertama kali ditugaskan melakukan peliputan bencana banjir bandang di daerah pedalaman Jawa Barat. Saat redaksi bilang, “Besok pagi kamu berangkat ke sana,” aku langsung deg-degan. Bukan cuma karena kondisi di lapangan yang belum jelas, tapi juga karena aku sadar: ini bukan sekadar tugas jurnalistik biasa. Ini adalah berita dari zona bahaya, tempat di mana nyawa bisa dipertaruhkan demi menyampaikan fakta.
Sebagai jurnalis, meliput bencana alam adalah salah satu tugas yang paling menantang secara fisik, emosional, pengetahuan, dan etika. Tapi justru di sinilah letak pentingnya peran media: hadir langsung di tempat kejadian, menyampaikan realita, dan memastikan publik tahu apa yang sedang terjadi.
Kenapa Peliputan Bencana Itu Penting?
Di tengah kekacauan, informasi adalah penyelamat. Masyarakat butuh tahu di mana titik evakuasi, berapa korban, apa bantuan yang dibutuhkan, dan bagaimana dampak lanjutan dari bencana tersebut.
Tanpa peliputan yang cepat dan akurat, banyak hal bisa jadi kacau:
-
Bantuan tidak tersalurkan dengan efektif
-
Masyarakat terdampak jadi tidak terlihat
-
Hoaks dan spekulasi bisa menyebar cepat
Itulah sebabnya, setiap wartawan yang turun ke lokasi bencana sebenarnya membawa tanggung jawab kemanusiaan.
Tantangan Awal: Akses ke Lokasi
Masalah pertama yang hampir selalu dihadapi adalah akses. Waktu aku meliput gempa Lombok beberapa tahun lalu, jalur utama ke lokasi runtuh. Jaringan sinyal putus, listrik padam total. Kami harus pakai motor trail dan jalan kaki belasan kilometer dengan membawa kamera, tripod, dan logistik pribadi.
Beberapa kendala umum di lapangan:
-
Jalan terputus
-
Jembatan roboh
-
Banjir tinggi
-
Tidak ada sinyal
-
Tidak ada tempat menginap aman
Di situ, aku baru benar-benar paham kenapa banyak peliputan bencana terasa “terlambat”. Bukan karena jurnalis malas, tapi karena butuh perjuangan besar hanya untuk bisa tiba di lokasi.
Risiko di Zona Bahaya
Meliput di zona bencana bukan main-main. Banyak teman seprofesi seperti di Inca Berita yang pernah cerita soal pengalaman peliputan bencana:
-
Terjebak longsor susulan
-
Dikejar amukan warga karena salah ucap
-
Terpapar penyakit akibat air kotor
-
Nyaris tertimpa reruntuhan saat siaran
Aku sendiri pernah hampir terseret arus saat mencoba merekam visual banjir di perkampungan. Kamera aman, tapi aku trauma mandi hujan di sungai selama sebulan penuh.
Karena itu, sebelum berangkat ke lokasi, kami selalu brief soal:
-
Jalur evakuasi
-
Sinyal komunikasi terdekat
-
Koordinasi dengan BPBD atau relawan lokal
-
Perlengkapan keselamatan minimal: helm, pelampung, masker N95, dan sepatu tahan air
Emosi di Tengah Kekacauan
Yang paling sulit dari semua itu? Mengelola emosi. Lihat anak kecil yang kehilangan orang tua, ibu-ibu menangis sambil membawa jasad, rumah hancur, warga putus asa.
Sebagai manusia, rasanya ingin menangis. Tapi sebagai jurnalis, aku harus tetap tenang, objektif, dan profesional. Ini bukan berarti kita nggak punya empati, tapi harus menjaga kendali agar informasi bisa tetap disampaikan.
Kadang setelah live report selesai, aku baru duduk diam di belakang mobil, dan baru saat itu aku biarkan diri menangis. Karena ya, susah banget nahan emosi kalau kamu lihat penderitaan manusia secara langsung.
Etika Peliputan Bencana: Jangan Cari Sensasi
Salah satu hal yang sering disalahpahami masyarakat adalah kenapa wartawan “terkesan mengganggu” di lokasi bencana. Padahal, yang kami lakukan bukan untuk eksploitasi, tapi untuk menunjukkan apa yang benar-benar terjadi.
Tapi aku setuju, ada batas yang tidak boleh dilanggar:
-
Jangan sorot korban luka atau meninggal tanpa izin keluarga
-
Jangan mewawancarai korban saat sedang trauma berat
-
Jangan menyebarkan foto atau video tanpa sensor yang pantas
-
Jangan merekayasa adegan demi rating
Peliputan bencana harus berlandaskan empati dan rasa hormat. Jangan sampai niat menyebarkan info berubah jadi bentuk lain dari kekerasan visual.
Peran Teknologi dalam Peliputan Bencana
Sekarang, dengan bantuan teknologi, peliputan jadi sedikit lebih ringan. Beberapa alat bantu yang kami pakai:
-
Drone: untuk ambil visual dari area sulit dijangkau
-
Mobile streaming kit: siaran langsung pakai HP dengan sinyal satelit
-
Aplikasi pelacak gempa, cuaca, dan titik api
-
Google Docs/Sheets untuk berbagi info real time dengan redaksi
Tapi teknologi tetap tidak bisa menggantikan kehadiran langsung. Manusia di lapangan tetap tak tergantikan, terutama untuk wawancara dan observasi detail yang nggak bisa didapat lewat layar.
Koordinasi dengan Tim SAR dan Relawan Peliputan Bencana
Satu hal yang aku pelajari dari banyak peliputan: jangan bergerak sendiri. Kita harus selalu koordinasi dengan tim penyelamat, baik dari Basarnas, BPBD, relawan lokal, bahkan tentara.
Alasannya jelas:
-
Mereka tahu medan lebih baik
-
Mereka punya informasi real-time
-
Mereka bisa bantu kalau kita dalam bahaya
Di satu peliputan erupsi gunung, aku dan kameramen nyasar ke jalur evakuasi yang berbahaya. Untungnya ada relawan yang segera tarik kami keluar. Sejak itu, kami nggak pernah nekat bergerak tanpa konfirmasi jalur aman.
Peliputan Bencana dan Tekanan Deadline
Kamu mungkin berpikir, “kan udah di lokasi, tinggal kirim berita aja.” Tapi kenyataannya, peliputan bencana justru sering berkejaran dengan waktu dan keterbatasan alat.
Batas waktu pengiriman naskah, edit video, jaringan internet yang nggak stabil, semua itu bikin kerja makin intens. Aku pernah kirim naskah lewat SMS karena sinyal data putus total. Pernah juga rekam audio pakai voice note karena alat utama rusak kehujanan.
Tekanan ini kadang bikin wartawan kelelahan dan stres. Tapi tetap harus dikirim, karena masyarakat menunggu kabar.
Bagaimana Menjaga Mental Wartawan Peliputan Bencana?
Peliputan bencana itu menguras mental. Beberapa tips yang biasa aku lakukan:
-
Istirahat sejenak setelah tugas selesai
-
Ngobrol dengan sesama jurnalis buat saling curhat
-
Menulis jurnal pribadi soal perasaan di lapangan
-
Menghindari konsumsi berita bencana lain setelah tugas
-
Konsultasi ke profesional kalau mulai ada trauma berat
Karena pada akhirnya, wartawan juga manusia. Dan kesehatan mental juga harus dijaga, agar bisa terus menjalankan peran penting ini.
Perubahan Cara Peliputan Seiring Waktu
Dulu, peliputan bencana hanya fokus ke data: jumlah korban, lokasi, kerugian. Tapi sekarang, pendekatannya lebih personal. Cerita dari sudut manusia, human interest, jadi lebih dihargai.
Misalnya, daripada hanya menulis “100 rumah rusak”, kami juga cari cerita satu keluarga yang kehilangan rumah, dan bagaimana mereka bertahan.
Ini membuat masyarakat lebih terhubung secara emosional, dan bantuan lebih cepat datang karena terasa nyata.
Apresiasi untuk Tim Lapangan
Aku percaya, peliputan bencana adalah kerja kolektif. Dari reporter, kameramen, editor, hingga driver dan fixer lokal. Tanpa mereka, aku nggak akan bisa berdiri live di depan kamera.
Di tiap bencana yang aku liput, selalu ada satu atau dua orang lokal yang bantu kami. Mereka yang kasih tahu jalur aman, tempat menginap, bahkan makanan hangat saat kami belum sempat makan apa pun seharian.
Jadi, meskipun berita yang kamu tonton terlihat seperti hasil satu reporter, percayalah: itu adalah kerja keras satu tim yang berjibaku di tengah kekacauan.
Kesimpulan
Peliputan bencana bukan tugas yang mudah. Tapi ini adalah bagian dari tanggung jawab sosial seorang jurnalis. Untuk hadir di tengah kegelapan, dan membawa cahaya informasi yang dibutuhkan banyak orang.
Setiap kali aku kembali dari zona bencana, aku selalu bawa pulang lebih dari sekadar rekaman dan laporan. Aku bawa pulang pelajaran tentang empati, keteguhan manusia, dan arti menjadi saksi langsung dalam sejarah.
Dan selama masyarakat butuh suara dari lapangan, aku akan terus siap—meski itu artinya berdiri di tengah lumpur, di bawah hujan, di zona bahaya.
Baca juga artikel berikut: Organel Sel Utama: Fungsi Setiap Komponen Sel
#berita gempa #berita zona bahaya #etika peliputan bencana #jurnalis lapangan #keselamatan reporter #kisah peliputan lapangan #koordinasi tim SAR #laporan langsung bencana #live report bencana #mental wartawan #peliputan bencana #risiko liputan darurat #tantangan wartawan #teknologi peliputan #zona evakuasi