PPN 12% untuk Pendidikan, Pakar UGM: Sangat Tidak Tepat
Belum lama ini, rencana pemerintah untuk menerapkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% pada sektor pendidikan memicu pro dan kontra di tengah masyarakat. Banyak pihak, termasuk akademisi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), mengkritik kebijakan ini dengan menyebutnya sebagai langkah yang sangat tidak tepat. Dalam artikel ini, kita akan membahas pandangan para pakar, dampak yang mungkin terjadi, dan alasan mengapa kebijakan ini menuai banyak kecaman.
Latar Belakang Kebijakan PPN 12% untuk Pendidikan
Kebijakan PPN 12% ini muncul sebagai bagian dari upaya pemerintah untuk memperluas basis pajak dan meningkatkan pendapatan negara. Pemerintah mengklaim bahwa langkah ini bertujuan untuk memperbaiki struktur fiskal dan menambah pemasukan negara di tengah pandemi yang berdampak besar pada perekonomian. Namun, memasukkan sektor pendidikan ke dalam daftar objek pajak dianggap sebagai langkah yang tidak bijaksana.
Sektor pendidikan selama ini dianggap sebagai sektor vital yang seharusnya mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah. Pendidikan adalah hak dasar yang dijamin oleh konstitusi, dan langkah ini dikhawatirkan akan membatasi akses masyarakat, khususnya golongan menengah ke bawah, terhadap layanan pendidikan yang berkualitas.
Kritik dari Pakar UGM
Para akademisi dan pakar dari Universitas Gadjah Mada (UGM) menjadi salah satu kelompok yang paling vokal dalam menyuarakan kritik terhadap kebijakan ini. Salah satu pakar ekonomi UGM, Dr. Arif Wibowo, menilai bahwa kebijakan ini bertentangan dengan prinsip keadilan sosial. Dalam sebuah wawancara, Dr. Arif menyatakan, “Memberikan beban tambahan berupa PPN pada pendidikan sama saja dengan mempersempit akses masyarakat terhadap pendidikan. Ini sangat tidak tepat, terutama di masa sulit seperti sekarang.”
Pakar lain dari UGM, Prof. Lina Kusuma, yang merupakan ahli di bidang kebijakan publik, juga menyebut bahwa langkah ini berpotensi memperlebar kesenjangan sosial. Menurutnya, “Pendidikan seharusnya menjadi instrumen untuk mengurangi ketimpangan, bukan malah menjadi beban tambahan bagi masyarakat.” Beliau juga menyoroti dampak psikologis pada masyarakat yang merasa bahwa hak mereka terhadap pendidikan mulai terancam.
Dampak yang Berpotensi Terjadi
Jika kebijakan ini benar-benar diterapkan, berbagai dampak negatif dapat muncul, baik dalam jangka pendek maupun panjang. Berikut adalah beberapa dampak yang mungkin terjadi:
- Akses Pendidikan Semakin Terbatas
- Dengan adanya PPN 12%, biaya pendidikan akan meningkat secara signifikan. Hal ini dapat membuat banyak keluarga kesulitan untuk membiayai pendidikan anak-anak mereka, terutama bagi golongan menengah ke bawah.
- Kesenjangan Sosial yang Semakin Lebar
- Pendidikan adalah salah satu cara untuk meningkatkan mobilitas sosial. Ketika akses pendidikan menjadi lebih mahal, kesenjangan antara golongan kaya dan miskin akan semakin terlihat.
- Penurunan Kualitas Pendidikan
- Institusi pendidikan swasta, yang sebagian besar bergantung pada pendapatan dari biaya siswa, mungkin akan kesulitan menjaga kualitas layanan mereka akibat penurunan jumlah siswa.
- Tekanan pada Lembaga Pendidikan Negeri
- Ketika banyak masyarakat yang tidak lagi mampu mengakses pendidikan swasta, permintaan untuk pendidikan negeri akan meningkat tajam. Hal ini dapat membebani kapasitas lembaga pendidikan negeri.
- Dampak Ekonomi yang Lebih Luas
- Dalam jangka panjang, pengurangan akses terhadap pendidikan akan berdampak pada kualitas sumber daya manusia Indonesia, yang pada akhirnya memengaruhi daya saing bangsa di kancah global.
Perspektif Hukum dan Konstitusi
Menurut Pakar UGM, kebijakan ini juga perlu ditinjau dari perspektif hukum dan konstitusi. Pasal 31 UUD 1945 menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dan pemerintah wajib membiayai pendidikan dasar. Dengan adanya PPN 12%, pemerintah dinilai gagal memenuhi kewajibannya dalam memberikan akses pendidikan yang terjangkau bagi semua warga negara.
Prof. Lina Kusuma juga menambahkan bahwa kebijakan ini bertentangan dengan semangat Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya pada tujuan keempat yang berbunyi “Ensure inclusive and equitable quality education and promote lifelong learning opportunities for all.” Kebijakan ini justru berpotensi menghalangi tercapainya tujuan tersebut.
Bandingkan dengan Negara Lain
Kebijakan pajak pada pendidikan sebenarnya bukan hal yang umum di banyak negara. Beberapa negara justru memberikan insentif atau subsidi besar untuk sektor pendidikan. Contohnya:
- Finlandia: Pendidikan dasar hingga tingkat universitas sepenuhnya gratis, termasuk buku pelajaran dan makan siang.
- Jerman: Sebagian besar universitas negeri tidak memungut biaya kuliah, bahkan untuk mahasiswa internasional.
- Singapura: Pemerintah memberikan subsidi besar pada pendidikan, sehingga biaya yang ditanggung masyarakat relatif rendah.
Dalam konteks ini, penerapan PPN pada pendidikan di Indonesia terlihat bertolak belakang dengan pendekatan yang diambil oleh negara-negara lain yang lebih maju.
Rekomendasi dari Pakar UGM
Sebagai alternatif dari kebijakan PPN 12% ini, para pakar UGM memberikan beberapa rekomendasi yang dianggap lebih tepat:
- Optimalisasi Pajak Sektor Lain
- Pemerintah sebaiknya fokus pada sektor-sektor yang kurang tergarap, seperti pajak digital atau properti, daripada membebani sektor pendidikan.
- Peningkatan Efisiensi Anggaran
- Dr. Arif Wibowo menyarankan agar pemerintah melakukan audit dan efisiensi anggaran di berbagai sektor, sehingga kebutuhan pendapatan tidak harus diperoleh dari pajak pendidikan.
- Subsidi Silang
- Institusi pendidikan yang memiliki keuntungan besar dapat dikenakan pajak tambahan, namun hasil pajak tersebut digunakan untuk mensubsidi pendidikan bagi golongan menengah ke bawah.
- Transparansi Dana Pendidikan
- Pemerintah perlu memastikan bahwa anggaran pendidikan yang ada saat ini benar-benar digunakan secara efektif untuk meningkatkan kualitas dan akses pendidikan.
Suara dari Masyarakat
Selain pakar UGM, masyarakat umum juga banyak yang mengungkapkan kekecewaan mereka terhadap rencana kebijakan ini. Melalui media sosial, berbagai kritik dilontarkan, seperti:
- “Bagaimana nasib anak-anak kita kalau pendidikan dikenakan PPN? Ini benar-benar tidak masuk akal.” – @AnakNegeri
- “Pemerintah seharusnya mempermudah akses pendidikan, bukan malah mempersulit.” – @RakyatBerdaulat
Kesimpulan
Rencana penerapan PPN 12% pada sektor pendidikan jelas menuai banyak penolakan, terutama dari para pakar UGM yang menilai langkah ini sangat tidak tepat. Pendidikan adalah hak dasar setiap warga negara dan seharusnya menjadi prioritas utama pemerintah untuk didukung, bukan dibebani.
Dengan mempertimbangkan berbagai dampak negatif yang mungkin terjadi, pemerintah diharapkan untuk meninjau ulang kebijakan ini dan mencari alternatif lain yang lebih adil dan efektif. Sebagaimana yang disampaikan oleh Dr. Arif Wibowo, “Masa depan bangsa ada di tangan generasi muda. Jangan sampai kebijakan seperti ini mengorbankan masa depan mereka.”
Melalui dialog konstruktif antara pemerintah, akademisi, dan masyarakat, diharapkan solusi terbaik dapat ditemukan demi pendidikan yang inklusif dan berkualitas untuk semua lapisan masyarakat.