Jakarta, inca.ac.id – Pada suatu pagi yang sibuk di kampus, saya bertemu dengan Rizal—mahasiswa semester 5 jurusan Hubungan Internasional. Ia tampak lelah, baru saja keluar dari perpustakaan dengan tiga buku tebal di tangan. “Gue baca semua ini buat tugas, tapi tetap bingung gimana nulisnya secara akademik,” katanya dengan nada frustrasi. Apa yang Rizal alami bukan hal asing. Ia sedang bergulat dengan literasi akademik—sebuah kompetensi penting, namun kerap disalahpahami.

Literasi akademik bukan sekadar bisa baca-tulis. Ia mencakup kemampuan berpikir kritis, menyusun argumen, menyaring informasi yang kredibel, dan menulis dengan struktur ilmiah. Dan di tengah banjir informasi yang seringkali dangkal, kemampuan ini bukan cuma penting—ia krusial.

Dalam artikel ini, kita akan menyelami dunia literasi akademik dengan cara yang tidak menggurui. Dengan gaya naratif yang mendalam, kita bahas bagaimana literasi akademik memengaruhi kehidupan mahasiswa, peran institusi pendidikan, hingga tantangan yang harus ditaklukkan. Karena percayalah, kemampuan ini lebih dari sekadar “syarat lulus skripsi”.

Apa Itu Literasi Akademik? Jangan Salah Kaprah!

Literasi Akademik

Bayangkan literasi akademik sebagai ‘kunci utama’ untuk bisa membaca dan menulis dalam “bahasa dunia kampus”. Tapi ini bukan cuma soal grammar atau EYD. Literasi akademik menyangkut pemahaman mendalam terhadap bagaimana ilmu dibangun: dari cara berpikir ilmiah, penggunaan sumber yang kredibel, hingga bagaimana menyampaikan ide secara logis dan sistematis.

Menurut sejumlah pakar pendidikan tinggi seperti Lea & Street (1998), literasi akademik tak bisa dilihat sebagai satu kompetensi tunggal, tapi sebagai “praktik sosial” yang berkaitan dengan konteks disiplin ilmu. Artinya, literasi akademik seorang mahasiswa Teknik tentu berbeda dengan mahasiswa Sastra. Misalnya, mahasiswa Teknik harus terbiasa dengan laporan hasil eksperimen dan representasi data, sedangkan mahasiswa Sastra perlu mahir menganalisis teks dan menyusun argumen konseptual.

Sayangnya, banyak mahasiswa mengira bahwa selama mereka bisa menyelesaikan bacaan dan menulis esai, itu berarti mereka sudah melek akademik. Padahal, seberapa dalam kita memahami referensi, bagaimana kita merumuskan masalah, serta sejauh mana kita bisa menjawabnya secara analitis—semua itu adalah ukuran sebenarnya.

Dan ini bukan hanya tentang kemampuan bahasa Indonesia atau Inggris, tetapi lebih kepada bagaimana berpikir secara akademik.

Literasi Akademik dalam Keseharian Mahasiswa: Lebih dari Sekadar Baca Buku

Coba bayangkan skenario ini: Dita, mahasiswa semester akhir jurusan Ilmu Komunikasi, sedang menulis skripsi. Ia menemukan artikel populer di internet yang mendukung topiknya. Ia kutip begitu saja, tanpa mengecek validitas sumber. Di sinilah literasi akademik diuji—apakah ia tahu bahwa informasi dari blog pribadi bukan sumber ilmiah? Apakah ia tahu cara membedakan jurnal terakreditasi dan opini?

Literasi akademik tidak hanya hadir saat kita membuat skripsi. Ia melekat dalam berbagai aktivitas: membaca jurnal untuk kuliah, mendiskusikan topik dalam kelas, membuat presentasi kelompok, hingga menanggapi berita di media sosial dengan kacamata kritis.

Kehidupan kampus, dengan segala dinamikanya, menuntut mahasiswa untuk menjadi pembaca yang cermat dan penulis yang bertanggung jawab. Salah satu indikatornya adalah ketika mahasiswa mampu bertanya “Mengapa ini penting?” dan “Apa dasar argumennya?” setiap kali mereka menemukan sebuah pernyataan.

Dan ya, terkadang literasi akademik bahkan terlihat dalam obrolan warung kopi. Misalnya, saat mahasiswa Hukum dan Ekonomi memperdebatkan RUU baru. Mereka tak hanya adu pendapat, tapi juga menyertakan pasal hukum dan teori ekonomi. Itulah manifestasi dari literasi akademik dalam bentuk paling kasual.

Kampus dan Kurikulum: Sudahkah Mereka Membentuk Mahasiswa Melek Akademik?

Salah satu kritik paling sering terdengar di kalangan dosen adalah, “Mahasiswa sekarang malas baca jurnal.” Tapi benarkah masalahnya terletak pada kemalasan? Atau jangan-jangan mereka tidak tahu bagaimana membaca jurnal secara efektif?

Di sinilah peran kurikulum menjadi krusial. Banyak universitas yang baru memperkenalkan konsep literasi akademik secara eksplisit saat mahasiswa masuk semester akhir. Padahal, seharusnya kompetensi ini mulai ditanamkan sejak awal.

Beberapa kampus di Indonesia mulai sadar akan hal ini. Universitas Gadjah Mada, misalnya, sudah memiliki mata kuliah “Pengantar Literasi Akademik” di beberapa fakultas. Begitu juga Universitas Indonesia yang membekali mahasiswa baru dengan modul penulisan ilmiah sejak semester pertama. Tapi apakah cukup?

Tantangan terbesar justru ada di implementasi. Banyak dosen yang menuntut mahasiswa mengutip jurnal internasional, tapi tidak pernah mengajarkan cara membacanya. Akibatnya, mahasiswa hanya menyalin kutipan demi memenuhi syarat format, bukan karena memahami isinya.

Literasi akademik bukanlah hasil instan dari satu mata kuliah. Ia adalah proses panjang, yang harus dibangun secara berjenjang dan konsisten. Harus ada sinergi antara pengajaran, penilaian, dan budaya akademik yang mendukung keingintahuan serta refleksi.

Tantangan dan Hambatan: Dari Bahasa hingga Budaya Copy-Paste

Kalau kita tanya pada 100 mahasiswa di berbagai kampus, hampir pasti lebih dari setengahnya pernah melakukan copy-paste saat membuat tugas. Alasan paling umum? “Deadline mepet” atau “bingung nulisnya gimana”. Tapi dibalik itu, ada problem literasi akademik yang lebih dalam.

Masalah pertama tentu soal bahasa. Banyak referensi akademik ditulis dalam bahasa Inggris dengan gaya formal yang kaku. Mahasiswa yang tak terbiasa akan mudah menyerah. Ada pula yang merasa bahwa menulis secara ilmiah berarti “menulis sulit”—sehingga mereka kehilangan suara orisinal mereka.

Masalah kedua adalah budaya instan. Di era digital, informasi begitu mudah diakses, tapi tidak semuanya valid. Literasi akademik mengharuskan kita menjadi ‘penambang informasi’—menggali, memilah, menguji, dan membangun argumen dari dasar, bukan sekadar menyalin dari atas permukaan.

Tantangan lainnya juga muncul dari tekanan sistemik. Misalnya, kewajiban publikasi bagi mahasiswa agar bisa lulus (seperti dalam kebijakan Kampus Merdeka) justru membuat praktik plagiarisme makin marak karena tidak diimbangi pelatihan penulisan ilmiah yang memadai.

Mungkin kita butuh lebih banyak ruang diskusi di kampus untuk mengakui bahwa menulis ilmiah itu sulit—dan butuh proses. Dan tidak apa-apa untuk merasa frustrasi, asal kita mau belajar memperbaikinya.

Cara Mengasah Literasi Akademik: Tips Realistis untuk Mahasiswa Zaman Now

Mari kita akhiri dengan sesuatu yang praktis. Literasi akademik bisa dan harus dilatih. Ini bukan bakat bawaan, melainkan keterampilan yang bisa diasah, sedikit demi sedikit. Berikut beberapa langkah yang bisa dicoba mahasiswa siapa pun:

a. Mulai dari Membaca dengan Aktif

Jangan sekadar membaca untuk selesai. Gunakan teknik seperti SQ3R (Survey, Question, Read, Recite, Review). Buat catatan kecil, pertanyakan argumen penulis, dan bandingkan dengan bacaan lain.

b. Latihan Menulis Argumen

Coba tulis opini pendek dari topik kuliah, tapi sertai dengan data dan sumber. Latih menulis paragraf dengan struktur: klaim – bukti – penjelasan.

c. Belajar dari Jurnal Terkurasi

Jangan langsung ke jurnal internasional yang rumit. Mulailah dari jurnal nasional bereputasi. Gunakan platform seperti SINTA, DOAJ, atau portal garuda.kemdikbud.go.id.

d. Diskusi Kritis

Bergabunglah dalam forum diskusi, komunitas menulis, atau kelas tambahan. Bertukar argumen itu penting, karena literasi akademik tumbuh dari dialog.

e. Gunakan Alat Bantu

Manfaatkan aplikasi seperti Zotero, Grammarly, atau Mendeley. Tapi jangan bergantung sepenuhnya. Gunakan sebagai alat, bukan crutch.

f. Bangun Kebiasaan Reflektif

Setelah selesai tugas, luangkan waktu 10 menit untuk merenung: “Apa yang aku pelajari dari proses ini?” Catat kesalahan dan perbaikan. Ini akan membentuk academic mindset yang kuat.

Penutup: Mengapa Literasi Akademik Adalah Investasi Jangka Panjang

Literasi akademik bukan cuma soal lulus kuliah. Ia adalah fondasi berpikir kritis yang akan berguna sepanjang hidup: saat kita memilih informasi di media sosial, saat bekerja dalam tim profesional, saat menyampaikan ide dalam rapat, hingga saat kita mengedukasi anak-anak kita nanti.

Kembali ke Rizal yang saya ceritakan di awal—beberapa minggu kemudian, ia mengirimkan pesan. “Gue akhirnya paham bedanya referensi ilmiah sama artikel biasa. Nulis jadi lebih enak sekarang.” Sebuah langkah kecil, tapi sangat berarti.

Karena pada akhirnya, literasi akademik bukan sekadar alat—ia adalah cara hidup dalam berpikir jernih, menyaring informasi, dan menyuarakan kebenaran.

Baca Juga Artikel dari: Komputasi Kuantum: Masa Depan yang Mengubah Segalanya

Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait Tentang: Pengetahuan

Penulis

Categories:

Related Posts

Keterampilan Berpikir Kritis Belajar Keterampilan Berpikir Kritis Bekal Mahasiswa Hadapi Dunia
Jakarta, inca.ac.id – Pagi yang sedikit mendung di minggu kedua semester ganjil. Saya duduk di
Soliloquy Soliloquy: Revealing Inner Thoughts on Stage Like a Pro
JAKARTA, inca.ac.id – Alright, let’s just get straight into it—Soliloquy: Revealing Inner Thoughts on Stage.
Bootcamp Digital: Solusi Cepat Kuasai Skill Teknologi Masa Kini Bootcamp Digital: Gerbang Cepat Menuju Karir Teknologi Masa Kini
JAKARTA, inca.ac.id – Di era digital seperti sekarang, dunia kerja berubah dengan sangat cepat. Kemampuan
Komputasi Kuantum Komputasi Kuantum: Masa Depan yang Mengubah Segalanya
inca.ac.id –  Komputasi kuantum adalah salah satu pencapaian paling mengagumkan dalam dunia teknologi modern. Dengan