GenZ Memilih Tak Kuliah Generasi Z atau yang biasa disebut Gen Z, merupakan kelompok usia muda yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012. Mereka dikenal sebagai generasi yang melek teknologi, kritis, dan adaptif. Namun, di balik citra progresif itu, riset terbaru mengungkapkan fakta mencengangkan: 31% GenZ memilih tak kuliah karena alasan utama yang sangat klasik—tingginya biaya pendidikan.

Fakta ini menimbulkan banyak pertanyaan. Bagaimana bisa generasi yang hidup di era akses informasi terbuka justru memutuskan untuk tidak menempuh pendidikan tinggi? Apakah sistem pendidikan saat ini tidak lagi relevan atau justru terlalu mahal hingga menciptakan hambatan bagi masa depan mereka?

Artikel ini akan mengupas secara lengkap hasil riset tersebut, penyebab utama di balik keputusan Gen Z, serta implikasinya terhadap masa depan tenaga kerja, ekonomi, dan arah pendidikan nasional.

Tren GenZ yang Tidak Lagi Melihat Kuliah sebagai Kebutuhan Mutlak

Dalam dekade terakhir, perubahan paradigma terhadap pendidikan tinggi mulai terlihat jelas. Jika generasi sebelumnya menganggap kuliah sebagai satu-satunya jalan menuju karier yang sukses, maka tidak demikian halnya dengan generasi Z.

Hasil riset lembaga survei pendidikan nasional menunjukkan bahwa dari 1.200 responden Gen Z berusia 17–24 tahun, sebanyak 31% menyatakan mereka tidak berencana kuliah setelah lulus SMA. Dari jumlah tersebut, sekitar 72% menyebutkan bahwa alasan utamanya adalah biaya kuliah yang sangat tinggi.

Sementara itu, sebagian lainnya menyebut faktor seperti ingin langsung bekerja, memilih jalur wirausaha, atau belajar Mading Online secara mandiri lewat platform digital. Hal ini menunjukkan bahwa Gen Z mulai mencari alternatif pendidikan yang lebih fleksibel dan terjangkau.

Biaya Kuliah Semakin Tidak Terjangkau

Salah satu temuan paling konsisten dalam berbagai survei adalah kenyataan bahwa biaya kuliah terus meningkat setiap tahunnya. Di Indonesia, universitas negeri sekalipun kini mengenakan uang kuliah tunggal (UKT) yang nilainya bisa mencapai puluhan juta rupiah per semester, tergantung program studi dan kelasnya.

Bagi keluarga menengah ke bawah, ini tentu menjadi beban finansial yang berat. Apalagi dalam kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih pasca pandemi, pengeluaran untuk pendidikan tinggi sering kali harus dikorbankan demi kebutuhan primer lainnya.

Selain itu, bantuan pemerintah seperti KIP-Kuliah memang ada, tetapi tidak menjangkau semua lapisan. Banyak Gen Z yang merasa tidak memiliki cukup akses terhadap beasiswa atau bantuan dana pendidikan lainnya, sehingga akhirnya memutuskan untuk tidak melanjutkan kuliah sama sekali.

Perubahan Perilaku Belajar Gen Z di Era Digital

Faktor lain yang tak kalah penting dalam keputusan GenZ memilih tak kuliah adalah perubahan besar dalam pola belajar. Generasi ini tumbuh dengan YouTube, Google, TikTok, dan berbagai platform e-learning yang menyediakan jutaan konten edukatif secara gratis atau berbayar dengan harga murah.

Mereka sadar bahwa pengetahuan tidak lagi eksklusif milik bangku kuliah. Kursus online seperti Coursera, Udemy, hingga bootcamp coding menawarkan pembelajaran praktis dan langsung sesuai kebutuhan industri.

Hal ini membuat banyak Gen Z beranggapan bahwa kuliah bukanlah satu-satunya jalur untuk sukses. Mereka lebih menyukai pembelajaran yang singkat, langsung terpakai, dan bisa segera menghasilkan pendapatan.

Ketimpangan Akses Pendidikan antara Kota dan Daerah

GenZ Memilih Tak Kuliah

Walaupun digitalisasi memberikan banyak peluang, kenyataan di lapangan masih menunjukkan adanya ketimpangan besar dalam akses pendidikan. Gen Z yang tinggal di wilayah perkotaan umumnya lebih mudah mendapatkan informasi, fasilitas, dan dukungan untuk melanjutkan kuliah atau mengikuti kursus online.

Sebaliknya, Gen Z di daerah tertinggal sering kali terkendala oleh infrastruktur, ketersediaan internet, dan kurangnya pendampingan. Akibatnya, meskipun mereka memiliki potensi dan keinginan, kesempatan untuk kuliah tetap terbatas.

Riset menunjukkan bahwa 60% dari responden Gen Z yang tidak melanjutkan kuliah berasal dari daerah rural atau luar kota besar. Ini mengindikasikan bahwa selain faktor biaya, disparitas geografis dan sosial juga turut memperkuat keputusan mereka untuk tidak melanjutkan pendidikan tinggi.

Ketidakpastian Prospek Lulusan Perguruan Tinggi

Salah satu alasan mengejutkan yang muncul dari hasil riset adalah anggapan bahwa kuliah tidak lagi menjamin masa depan cerah. Banyak lulusan perguruan tinggi yang masih menganggur atau bekerja di bidang yang tidak sesuai dengan jurusannya.

Gen Z yang pragmatis menilai bahwa investasi waktu dan uang selama 4 tahun kuliah belum tentu berbanding lurus dengan hasilnya. Mereka lebih tertarik pada jalur karier yang lebih langsung dan cepat menghasilkan, seperti kerja freelance, membangun usaha kecil, atau menjadi konten kreator.

Fenomena ini menandakan adanya krisis kepercayaan terhadap sistem pendidikan formal, dan mengharuskan institusi pendidikan untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap relevansi kurikulum serta keterkaitan dengan dunia kerja.

Implikasi Sosial dan Ekonomi dalam Jangka Panjang

Keputusan sekelompok besar GenZ memilih tak kuliah tidak bisa dianggap remeh. Dalam jangka pendek, mungkin ini terlihat sebagai pilihan pribadi yang rasional. Namun jika dibiarkan menjadi tren nasional, hal ini berpotensi menciptakan masalah struktural dalam tenaga kerja masa depan.

Tanpa pendidikan tinggi, akan semakin banyak angkatan kerja dengan keterampilan terbatas, yang rawan tergeser oleh otomatisasi dan teknologi. Hal ini juga berpotensi meningkatkan ketimpangan sosial karena kelompok masyarakat miskin akan semakin sulit naik kelas sosial.

Selain itu, rendahnya partisipasi pendidikan tinggi bisa berdampak pada stagnasi produktivitas nasional dan melemahnya daya saing global. Oleh karena itu, dibutuhkan kebijakan nasional yang lebih proaktif dan inklusif untuk menangani fenomena ini sejak dini.

Alternatif dan Solusi: Membuka Akses dan Fleksibilitas

Untuk merespons tantangan ini, berbagai solusi perlu dikembangkan. Pemerintah, institusi pendidikan, dan swasta harus bekerja sama menciptakan sistem pendidikan tinggi yang lebih terjangkau, fleksibel, dan relevan.

Beberapa solusi yang dapat dipertimbangkan antara lain:

  • Memperluas cakupan beasiswa dan subsidi pendidikan bagi keluarga berpenghasilan rendah.

  • Mengembangkan program pendidikan tinggi berbasis daring dengan biaya rendah dan sertifikasi industri.

  • Memberikan insentif bagi kampus yang mampu menyesuaikan kurikulum dengan kebutuhan pasar kerja.

  • Mengintegrasikan jalur non-formal seperti bootcamp dan pelatihan vokasi ke dalam sistem pengakuan pendidikan nasional.

Lebih dari itu, perlu adanya kampanye nasional untuk memulihkan kepercayaan Gen Z terhadap pentingnya pendidikan tinggi. Edukasi publik tentang manfaat jangka panjang dari pendidikan, baik secara ekonomi maupun sosial, harus terus digalakkan.

Peran Orang Tua dan Lingkungan Sekitar

Dalam konteks keluarga, keputusan Gen Z untuk tidak kuliah juga sering kali dipengaruhi oleh pandangan orang tua dan lingkungan sekitar. Oleh karena itu, edukasi tidak hanya ditujukan kepada siswa, tetapi juga kepada para orang tua.

Orang tua perlu diajak memahami bahwa pendidikan bukan sekadar tentang gelar, tetapi tentang kesempatan memperluas wawasan, membangun jejaring, dan meningkatkan kapasitas diri. Jika mereka diberi informasi dan akses, maka dukungan keluarga terhadap pendidikan anak akan jauh lebih kuat.

Kesimpulan: Saatnya Reorientasi Pendidikan Tinggi di Indonesia

Fenomena 31% GenZ memilih tak kuliah menjadi cermin tantangan besar bagi sistem pendidikan Indonesia. Ini bukan hanya persoalan biaya, tetapi juga kepercayaan, relevansi, dan fleksibilitas sistem yang ada.

Pemerintah, institusi pendidikan, dan masyarakat perlu melakukan reorientasi terhadap makna dan bentuk pendidikan tinggi. Kuliah harus menjadi sesuatu yang bisa diakses semua kalangan, bukan hanya mereka yang mampu membayar mahal.

Dengan langkah strategis, inklusif, dan berorientasi masa depan, kita bisa menciptakan sistem pendidikan tinggi yang bukan hanya mampu menarik kembali kepercayaan Gen Z, tetapi juga mendorong lahirnya generasi masa depan yang siap bersaing secara global.

Baca Juga Artikel Berikut: Membangun Jembatan Budaya: Bagaimana Pertukaran Budaya

Penulis

Categories:

Related Posts

pengetahuan kognitif Pengetahuan Kognitif: Menyingkap Rahasia Pikiran
Pengetahuan kognitif mencakup pemahaman tentang bagaimana otak mengolah dan menyimpan informasi untuk digunakan dalam berpikir
Peppers Peppers Knowledge: How Capsaicin in Peppers Enhances Your Health
Peppers, particularly hot varieties like chili peppers, are not only a staple in many cuisines
Reboisasi Reboisasi: Mengembalikan Kehidupan Hutan demi Masa Depan
Reboisasi merupakan proses penanaman kembali pohon di lahan yang pernah mengalami kerusakan atau penebangan. Konsep
Pears Pears Knowledge: How This Sweet Fruit Aids Digestion and Weight Loss
Pears are a delicious and nutritious fruit that offers a variety of health benefits. Known