
Jakarta, inca.ac.id – Kita mulai dari awal—dari bangku SMA, ketika pertanyaan “mau kuliah di mana?” mulai berdengung tiap kali upacara Senin pagi. Jawaban yang muncul pun bervariasi: dari “Hukum UI” hingga “ngikut orang tua aja”. Tapi satu istilah yang selalu muncul di brosur kampus dan obrolan guru BK adalah program sarjana.
Secara definisi, program sarjana adalah jenjang pendidikan tinggi strata satu (S1) yang menjadi batu loncatan utama untuk karier profesional, akademis, maupun hidup yang katanya “mapan”. Tapi definisi itu, jujur saja, kadang terlalu kaku.
Karena di lapangan, program sarjana adalah pengalaman penuh gejolak yang tak bisa dijelaskan hanya dengan SKS dan kurikulum. Ada banyak hal yang tak tertulis di buku panduan kampus: soal adaptasi, kegagalan, organisasi, dilema jurusan, bahkan pertanyaan klasik “gue ngapain sih di sini?”
Contohnya Rahma, mahasiswa tahun ketiga jurusan Ilmu Komunikasi. Ia masuk karena tertarik dunia media, tapi di semester lima justru merasa tersesat karena ternyata lebih banyak teori dari praktik. “Gue kira bakal banyak syuting, ternyata malah nganalisis semiotika iklan 90-an,” ujarnya sambil tertawa getir. Tapi itulah sisi lain dari program sarjana—tempat ekspektasi diuji, dibentuk ulang, dan kadang dihancurkan untuk dibangun kembali.
Pilihan Jurusan, Antara Panggilan Hati dan Tekanan Realita
Memilih program sarjana kadang seperti memilih nasib. Ada yang mantap sejak awal—“aku mau jadi dokter!”—tapi banyak juga yang bingung karena terlalu banyak pilihan, atau justru tak diberi pilihan sama sekali.
Di Indonesia, jurusan-jurusan seperti Kedokteran, Hukum, Teknik, dan Ekonomi masih jadi primadona karena dianggap menjanjikan masa depan cerah. Tapi tren belakangan mulai bergeser. Jurusan-jurusan baru seperti Ilmu Data, Studi Game, hingga Teknik Lingkungan mulai menarik perhatian anak muda karena dianggap lebih relevan dengan tantangan zaman.
Namun, tekanan sosial dan keluarga masih sangat kuat. Banyak mahasiswa yang akhirnya memilih jurusan karena “kata papa bagus” atau “biar gampang kerja”. Akibatnya, tak jarang muncul fenomena salah jurusan yang berujung pada burnout, semangat kuliah yang naik turun, bahkan keinginan untuk pindah jalur total.
Cerita Bima, mahasiswa Teknik Sipil yang sekarang aktif di dunia musik, jadi cermin. “Gue masuk teknik karena ayah gue arsitek. Tapi ternyata passion gue di sound design. Akhirnya kuliah tetap jalan, tapi gue juga ambil kelas online musik dan bikin studio kecil bareng temen-temen,” katanya.
Artinya, program sarjana bukan akhir dari pencarian. Justru di sinilah banyak orang mulai menemukan apa yang sebenarnya mereka cari—meskipun jalurnya harus belok ke kiri, mutar dulu, atau malah melawan arus.
Dinamika Kampus, Organisasi, dan Dunia Nyata yang Masuk Tanpa Diundang
Program sarjana bukan cuma soal belajar di ruang kelas. Di luar itu, ada semesta luas bernama dunia kampus. Organisasi mahasiswa, BEM, UKM, komunitas, hingga kegiatan relawan jadi bagian penting dari proses pembentukan karakter dan jejaring sosial.
Banyak hal yang tak diajarkan di mata kuliah bisa ditemukan di sini: cara menyusun proposal, bikin event, debat publik, bahkan sekadar belajar toleransi dalam kepanitiaan yang isinya macam-macam karakter. Pengalaman ini, meski kadang bikin lelah, justru jadi bekal utama setelah lulus nanti.
Tapi belakangan, ada tekanan yang tak kasat mata: mahasiswa dituntut “harus aktif”, “harus punya pengalaman organisasi”, sambil tetap IPK tinggi, sambil magang juga, sambil jaga kesehatan mental. Rasanya kayak juggling lima bola sekaligus sambil jalan di tali.
Di sisi lain, realita sosial juga masuk ke dunia kampus. Ketimpangan akses pendidikan, isu biaya kuliah, diskriminasi, hingga kesehatan mental jadi tantangan nyata. Pandemi beberapa tahun lalu memperparah kondisi—banyak mahasiswa yang drop out, merasa terasing, atau kehilangan arah.
Namun dari sini juga muncul solidaritas baru. Komunitas mahasiswa bantu saling dukung, gerakan online lahir dari keresahan yang sama, dan ruang-ruang diskusi jadi tempat healing sekaligus strategi bertahan hidup.
Apa yang Kita Dapat dari Gelar Sarjana (Selain Ijazah)
Sering muncul pertanyaan: “Emang sarjana itu masih penting?” Jawabannya bisa iya, bisa juga tidak—tergantung dari mana kita memandangnya.
Secara struktural, gelar sarjana masih menjadi syarat administratif untuk banyak pekerjaan formal. Ia juga jadi penanda bahwa seseorang telah menyelesaikan proses pendidikan tinggi. Tapi nilai sebenarnya dari program sarjana bukan pada huruf S1-nya, melainkan pada prosesnya.
Proses itulah yang mengasah kemampuan berpikir kritis, kerja sama, manajemen waktu, problem solving, dan—ini penting—ketahanan mental. Di dunia kerja nanti, soft skill justru jadi penentu apakah seseorang bisa bertahan dan berkembang.
Banyak alumni yang berkata, “ilmu kuliah nggak semua kepakai, tapi cara mikirnya yang berguna.” Dan itu benar. Dari tugas makalah yang ditolak dosen, presentasi dadakan, sampai skripsi revisi lima kali, semua itu melatih daya tahan yang tidak bisa ditakar IPK semata.
Program sarjana juga membuka akses ke jaringan—dosen, alumni, teman satu jurusan, hingga mitra industri yang kadang jadi pintu masuk ke dunia profesional. Maka, buat yang masih menjalani: jangan cuma kejar nilai, tapi bangun hubungan dan reputasi.
Tantangan Masa Depan dan Transformasi Program Sarjana
Di era teknologi dan otomatisasi, program sarjana juga sedang mengalami krisis identitas. Banyak perusahaan teknologi, startup, bahkan lembaga sosial kini tak lagi mewajibkan gelar—mereka lebih menilai skill, portofolio, dan pengalaman nyata.
Lalu apakah sarjana akan jadi usang? Belum tentu. Tapi jelas bahwa program sarjana harus bertransformasi. Kurikulum perlu lebih adaptif, praktik diperbanyak, kolaborasi lintas disiplin didorong, dan pengembangan karakter harus jadi prioritas.
Kampus masa depan bukan hanya tempat belajar, tapi tempat hidup dan bertumbuh. Mahasiswa bukan hanya calon pekerja, tapi calon pemimpin, inovator, dan warga aktif. Di sinilah peran program sarjana bisa tetap relevan—kalau mampu menyesuaikan diri.
Mahasiswa juga perlu sadar bahwa gelar hanyalah salah satu bagian dari bekal hidup. Ia penting, tapi bukan satu-satunya. Kombinasi antara pengetahuan, pengalaman, dan karakter akan jauh lebih bernilai daripada IPK semata.
Penutup: Program Sarjana dan Perjalanan Mencari Diri
Akhirnya, program sarjana bukan soal empat tahun kuliah dan dapat ijazah. Ia adalah perjalanan—penuh belokan, tanjakan, dan kadang putaran balik. Tapi justru dari situ kita belajar mengenal diri, belajar gagal, belajar bangkit, dan belajar hidup berdampingan dengan banyak perbedaan.
Buat yang masih di tengah jalan: sabar dan nikmati prosesnya. Buat yang baru mau mulai: pilihlah dengan hati, bukan karena tren. Dan buat yang sudah selesai: semoga segala peluh dan revisi skripsi itu membawa makna, bukan sekadar gelar.
Karena menjadi sarjana bukan cuma status—itu adalah proses menjadi manusia yang terus belajar.
Baca Juga Artikel dari: KJMU 2025: Mendukung Mahasiswa Unggul Jakarta
Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait Tentang: Mahasiswa