
Jakarta, inca.ac.id – Penimbunan APD, ada satu momen di awal pandemi 2020 yang mungkin tidak pernah saya lupakan. Waktu itu, saya berdiri di depan IGD rumah sakit pemerintah di pinggiran Jakarta, mengenakan masker kain seadanya, dan menyaksikan antrean ambulans memanjang seperti antrean warteg waktu jam makan siang.
Di dalam, tenaga kesehatan—perawat, dokter, cleaning service—semuanya sibuk. Tapi ada satu hal yang membuat dada saya sesak waktu itu: beberapa dari mereka tidak pakai APD lengkap.
Waktu saya tanya salah satu dokter muda yang lagi istirahat di lorong:
“APD-nya kok nggak lengkap, Dok?”
Jawabannya singkat. Tapi menusuk:
“Disimpan buat yang lebih penting… atau yang lebih berkuasa.”
Baru kemudian saya tahu, ada praktik penimbunan APD yang sempat bikin geger. Tapi entah kenapa, cerita ini cepat tenggelam, seakan tidak pernah terjadi. Padahal faktanya, penimbunan APD oleh oknum adalah kejahatan kemanusiaan yang nyata, bahkan di saat dunia bersatu melawan pandemi.
APD dan Nilai Tukarnya yang Tiba-Tiba Meroket
Sebelum pandemi, masker bedah hanyalah masker. Harga per boks-nya Rp30 ribuan. Tapi di bulan Maret 2020, harga bisa melonjak hingga Rp500.000—dan itu pun rebutan. Sarung tangan? Langka. Hazmat? Jangan harap bisa beli di e-commerce tanpa “kenalan dalam.”
Satu catatan dari Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) menunjukkan: permintaan APD melonjak 20x lipat di kuartal pertama pandemi. Tapi stoknya? Nggak nambah sebanyak itu. Maka muncullah satu fenomena yang tak terelakkan: penimbunan dan permainan distribusi.
Di beberapa rumah sakit, kabarnya—dan saya tegaskan: kabarnya—APD disimpan di gudang dan hanya dikeluarkan untuk “tim pilihan.” Bahkan, ada APD yang dijual diam-diam ke luar rumah sakit. Kasusnya tidak besar, tapi nyata.
Salah satu perawat senior (inisial N, tidak bisa disebutkan) di rumah sakit swasta Jakarta menceritakan:
“Ada momen di mana APD lengkap bisa jadi semacam privilege. Siapa dekat sama manajemen, dapat. Yang biasa-biasa aja? Disuruh pakai jas hujan plastik.”
Apa ini keterlaluan? Iya. Tapi realitasnya kompleks. Saat semua orang panik, banyak yang memilih ‘selamatkan diri dulu’, baru pikir orang lain.
Nakes, Stigma, dan Tekanan Moral di Tengah Krisis
Tenaga kesehatan itu manusia, bukan robot. Tapi selama pandemi, mereka dijadikan simbol ketangguhan dan pengorbanan tanpa cela. Ini membuat banyak dari mereka terjebak dalam stigma: harus selalu kuat, harus selalu rela, dan… tidak boleh salah.
Padahal di dalam sistem inca hospital yang amburadul, bahkan nakes pun bisa terdorong untuk bertindak di luar batas.
Kita tidak bicara soal semua nakes. Banyak dari mereka yang luar biasa tulus. Tapi kita juga tidak bisa menutup mata: beberapa oknum di sektor kesehatan memanfaatkan momen langka ini untuk keuntungan pribadi.
Ada laporan dari salah satu LSM di Yogyakarta soal dugaan APD hasil donasi yang disimpan terlalu lama di ruang logistik tanpa didistribusikan. Ketika ditanya, manajemen rumah sakit berdalih “belum tahu mau dibagikan ke siapa.” Padahal staf IGD sudah minta berkali-kali.
Pernah juga saya mendengar cerita dari seorang relawan logistik COVID-19:
“Kami kirim hazmat ke puskesmas di Bogor. Tapi seminggu kemudian, staf di sana bilang belum menerima. Pas dicek, ternyata barangnya masih di mobil logistik internal. Nggak jelas kenapa belum turun…”
Apakah ini niat jahat? Bisa jadi tidak. Tapi ketika sistem tidak transparan dan komunikasi buruk, kesalahan bisa jadi bencana.
Ketika APD Ditimbun, Korban Pertamanya Adalah Pasien
Mari kita jujur. Yang jadi korban dari semua ini bukan hanya perawat atau dokter yang tidak kebagian APD. Tapi juga pasien.
Bayangkan: satu tenaga kesehatan memakai APD bekas atau tidak layak, lalu menangani pasien di ruang rawat COVID. Potensi penularan? Tinggi banget.
Menurut laporan WHO, salah satu penyebab utama kematian tenaga kesehatan di awal pandemi adalah minimnya perlindungan saat bekerja. Dan ketika nakes tertular, rumah sakit kekurangan staf. Ketika kekurangan staf, pasien tak terurus. Ketika pasien tak terurus, ya… kita tahu akhir ceritanya.
Dan sayangnya, data tentang ini minim sekali di Indonesia. Sebagian besar kasus hanya disebut sebagai “nakes gugur dalam tugas”—tanpa penjelasan mengapa mereka bisa sampai terpapar.
Padahal bisa saja, penyebabnya bukan karena kelalaian mereka, tapi karena kelalaian sistem. Atau bahkan, karena penimbunan APD yang dilakukan oleh pihak-pihak yang lebih mementingkan keamanan stok pribadi daripada keselamatan bersama.
Apa Kata Hukum dan Etika Profesi?
Secara hukum, penimbunan barang esensial seperti APD bisa dikenakan pasal pelanggaran terhadap UU Perlindungan Konsumen dan UU Perdagangan, apalagi jika barang tersebut berasal dari donasi publik.
Namun kenyataannya, sulit sekali membuktikan praktik penimbunan, apalagi jika pelakunya dari lingkungan internal.
Tidak banyak kasus yang masuk meja hukum. Bahkan ketika kasus penimbunan masker oleh distributor besar mencuat di 2020, prosesnya terhambat karena rumitnya pembuktian dan tekanan dari berbagai pihak.
Dari sisi etika profesi? Penimbunan APD, jika dilakukan oleh tenaga kesehatan, jelas bertentangan dengan sumpah profesi mereka—yang mengutamakan keselamatan pasien dan integritas pelayanan. Tapi sekali lagi, siapa yang akan menindak?
Dunia kesehatan kita masih punya banyak zona abu-abu. Dan itu menjadi ladang subur bagi penyimpangan kecil yang bisa berdampak besar.
Cahaya di Tengah Gelap: Gerakan Nakes Jujur
Tapi tunggu dulu. Ini bukan akhir dari cerita.
Di balik isu penimbunan APD, ada juga gerakan-gerakan kecil tapi bermakna dari tenaga kesehatan yang memilih jalan integritas. Di Bandung, misalnya, sekelompok perawat dan dokter muda membentuk komunitas transparansi logistik—mereka mendata sendiri keluar-masuknya APD di tempat mereka bekerja, dan membagikannya secara publik via grup internal.
Ada juga kisah dari Solo, di mana seorang kepala IGD perempuan membongkar praktik penahanan APD oleh bagian gudang, dan memaksa sistem distribusi terbuka. Bahkan sempat ada gesekan internal, tapi hasilnya? Keadilan bagi tim di lapangan.
Kisah-kisah ini memang tidak viral. Tidak seru buat media sosial. Tapi merekalah bukti bahwa masih banyak nakes yang tetap memilih jalan yang benar, meskipun tidak mudah.
Refleksi dan Jalan ke Depan
Penimbunan APD bukan hanya soal moral pribadi. Ini soal sistem, budaya, dan manajemen krisis yang buruk.
Kalau kita mau jujur, pandemi telah membuka borok dalam sistem kesehatan kita. Tapi juga memberi kita kesempatan untuk memperbaikinya.
Beberapa langkah konkret yang bisa dilakukan ke depan:
-
Sistem distribusi APD berbasis transparansi digital. Minimal, ada dashboard publik yang bisa diakses semua pihak.
-
Audit logistik kesehatan yang rutin dan independen. Bukan hanya saat krisis.
-
Pendidikan etika krisis untuk semua tenaga kesehatan. Biar mereka paham bahwa integritas bukan pilihan, tapi keharusan.
-
Perlindungan untuk whistleblower di sektor kesehatan. Supaya yang berani bicara tidak malah dihukum.
Penutup: Di Antara Pahlawan dan Penimbun, Ada Kita
Kita sering menyebut nakes sebagai pahlawan. Dan ya, banyak dari mereka memang layak disebut demikian. Tapi di tengah puja-puji itu, kita tidak boleh lupa: sistem yang lemah bisa menyeret siapa pun ke sisi gelap.
Penimbunan APD bukan hanya soal hukum. Tapi soal nurani. Dan soal pilihan yang kita ambil saat dunia sedang terbakar.
Maka mari kita berhenti menutup mata. Karena kadang, menyelamatkan satu jas hujan plastik di gudang, bisa jadi perbedaan antara hidup dan mati bagi seorang perawat di IGD.
Baca Juga Artikel dari: Pelatihan CPR: Kunci Keselamatan yang Harus Anda Kuasai
Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait Tentang: Pengetahuan